Bongkar News

Teh dan Kopi Indonesia




Bongkar Merdeka. com | Depok, -
Setidaknya ada 3 hal yang belum banyak diketahui orang tentang filosofi bisnis teh. Saya belajar dari senior saya, yang menurut hemat saya berhasil menancapkan virus cinta teh di dna memory saya. Namun 2-3 tahun terakhir, mendadak saya juga menyukai kopi, lho kq bisa ….? begini ceritanya

Proses pengerjaan teh itu boleh dikatakan rumit dan ada nuansa seninya. Secara varian, teh agak mirip dengan kopi. Jika teh mengenal jenis sinensis dan asamica, maka kalau di kopi kita mengenal arabica dan robusta. Keduanya bukan tanaman asli dari bumi Indonesia, teh berasal dari dataran tinggi Yunan, Kopi berasal dari daratan Africa Timur. Berkat perdagangan masa lalu dan kolonialisme kedua komoditas ini tersebar di seluruh dunia, dan menghasilkan budaya minum teh maupun kopi yang unik, di setiap bangsa, yang sangat berbeda dengan di negeri asalnya.

Masih mengenai seni, teh harus diperlakukan sedemikian rupa sejak semula, jika kita ingin memproduksi jenis teh hitam atau hijau. Artinya tidak hanya logika, namun juga cipta, rasa dan karsa terlibat dalam prosesnya. Alasan yang kedua adalah nilai tambah. Harga teh itu berbeda-beda di setiap tahapannya, mulai dari saat pemetikan hingga saat seduh, harganya 1 kg nya bisa berbeda 3-4 kali lipat. Sedangkan alasan yang terakhir, teh bisa menghasilkan devisa, karena Indonesia termasuk 4 besar pengekspor teh dunia. Artinya nama Indonesia akan semakin disebut, manakala makin banyak barang kita bisa dikenal di luar negeri.

Namun otokritik untuk para pelaku bisnis teh, sudahkah nama Indonesia seharum Srilanka, Kenya dan Assam, atau Jepang dengan ochanya, manakala menyebut nama teh ? Pengalaman saya mengatakan ini masih diperjuangkan. Beberapa sahabat saya, menyediakan dirinya untuk mengenalkan produk minuman teh Indonesia dengan caranya tersendiri. Kita perlu orang-orang seperti Capten Nanang dan kawan-kawannya yang tetap setia mengenalkan produk teh Indonesia ke luar negeri.

Bagaimana dengan kopi? Beberapa tahun terakhir, warung kopi yang dulu relatif diasosiasikan dengan gubug reyot, kumuh dan konsumen utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah kini bermetamorfosa ! 

Kedai kopi mulai dari kelas emperan, sampai yang secangkir senilai US$10 pun marak tumbuh di seantero wilayah Indonesia. Penikmat kopi pun menjadi lintas gender, kopi berubah menjadi life style. Nongkrong di warung kopi pun main marak meski pandemi. Beragam jenis minuman kopi lancar disebutkan penggemarnya, mulai dari kopi klothok, kopi hitam sampai yg memakai istilah berbau bahasa Inggris dan Italia. Belum lagi ada berbagai konfigurasi latte art, yang menambah daya tarik minuman kopi. Saking bagusnya dekorasi di cangkir kopi, hingga lebih baik dipotret daripada diminum. 

Ribuan orang dari berbagai kalangan, belajar menjadi peracik kopi, menjadi brewer, barista, mixologist dan aneka macam profesi di bidang kopi. Dari sebuah jurnal terbitan universitas Airlangga, perkembangan bisnis coffee shop, meningkat rata-rata 15%/ tahun. Lihat saja deretan nama-nama ini kopi janji jiwa, awal cerita kopi, pesen kopi, jokopi, convo, kopi kenangan, kopi lain hati, rindu kopi,
kopi aku dan kamu, kopi neira, tanamera coffee, dan masih puluhan lagi nama-nama unik yang telah memiliki tempat di hati para penggemarnya. Bahkan jika kita lihat di research.gate di google, ada lebih dari 10 penelitian tentang bisnis kopi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. 

Bagi saya yang menarik para barista dan peracik kopi ini sangat fasih dan bangga, dengan green bean (biji kopi) yang berasal dari negeri sendiri. Mereka bangga mengatakan ini kopi Gayo, kopi Sidikalang, Tanamera, Toraja, Papua, Kintamani, kopi Jawa (ini pun masih terbagi lagi, ada yang kopi gunung puntang, kopi temanggung, kopi dampit), masih banyak yang lain. Dan tentu saja kopi luwak, kopi termahal di dunia, karena sempat difermentasi dalam perut luwak.  

Kebanggaan menyebut nama-nama daerah tadi, seperti mengangkat cerita indah tentang bagaimana alam Indonesia ini begitu luar biasa bisa menghasilkan kopi-kopi kelas satu yang dibanggakan para peracik maupun konsumennya. Kopi pun bahkan menjadi oleh-oleh unik ketika kita mampir ke suatu daerah misalnya. Contohnya kemarin saat ada sebuah pameran tentang pariwisata NTT, beberapa kios menjual kopi ruteng, kopi larantuka, dll, dan ternyata laku keras.

Bagaimana dengan teh? Meskipun nilai bisnis industrinya juga trilyunan, belakangan tidak banyak cerita indah terdengar. Hanya bagi mereka yang cinta teh, mengerti dan hafal berbagai macam varians, kwalitas dan juga hasil olahan teh dari berbagai kebun di Indonesia. Teh sepertinya sudah kadung dikuasai merk, dan ini salah satu penyebab kurang bisa digali lebih jauh ceritanya seperti kopi di atas. 

Teh sebenarnya punya banyak tradisi khas, seperti moci, nasgitel, dan teh wangi yang khas Indonesia. Namun sepertinya kurang terangkat dari posisinya sebagai minuman biasa atau untuk suguhan tamu saja. Meskipun pangsa pasar di rumah tangga dan industry teh kemasan masih sangat bagus. Hanya saja untuk yang kemasan, sepertinya tak semarak beberapa tahun lalu, sehingga beberapa tag linenya sempat begitu booming.

Menjadi PR bagi para pelaku industry teh, untuk menarik manusia dari berbagai generasi, berpengalaman dengan teh, seperti halnya minum kopi. Perlu keberanian dan juga terobosan baru, untuk menjual teh tidak hanya karena merk, namun juga dari mana dia berasal. Memang ini pekerjaan tak semudah membalikkan telapak tangan…, 

Mendengar para barista muda menawarkan kopinya, “ini dari sidikalang pak, rasanya mild”. “Sedangkan dari toraja agak kuat asam dan manisnya”, atau “kopi papua ini eksotik karena kebunnya ada di belantara hutan di ketinggian 2000 meter” dll Saat para barista dengan bangganya bercerita itulah sebenarnya pesan bahwa Kopi sudah menjadi bagian mengharumkan nama Indonesia.

Jadi minum apa sekarang? Kopi atau Teh ? … apapun yang berasal dari Indonesia itu enak.. 


Penulis 
Taru Guritna Seorang Pelaku Bisnis Teh

Type and hit Enter to search

Close