Bongkar merdeka.com | Jakarta,-
Dalam semangat membangun tata kelola negara yang responsif dan efektif, kerja sama antar-lembaga negara merupakan keniscayaan. Kolaborasi lintas sektor diyakini mampu meningkatkan efektivitas pelayanan publik serta memperkuat institusi dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Di tengah dinamika kebijakan nasional, sinergi semacam ini tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya memperkuat sistem ketatanegaraan.
Namun demikian, dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil, sinergi antar-lembaga negara tetap harus dijalankan dalam kerangka hukum yang transparan, akuntabel, dan proporsional. Demokrasi tidak hanya diukur dari hasil akhir yang efektif, tetapi juga dari proses dan prinsip yang mengikat seluruh aktor negara di bawah kontrol konstitusi dan kehendak publik.
Dalam konteks ini, kebijakan perlibatan TNI dalam membantu pengamanan lingkungan Kejaksaan RI menjadi isu yang patut dicermati secara mendalam. Meskipun langkah ini diklaim sebagai bagian dari kerja sama institusional untuk memperkuat penegakan hukum, substansi kebijakan tersebut menyentuh sejumlah prinsip dasar dalam sistem ketatanegaraan kita.
Pelibatan TNI dalam fungsi yang secara tradisional berada di ranah sipil – dalam hal ini pengamanan fasilitas dan aparatur penegak hukum nonmiliter – memerlukan kehati-hatian. Pelibatan tersebut tidak hanya menyangkut batas kewenangan institusi, tetapi juga menyentuh prinsip reformasi sektor keamanan pascareformasi 1998 yang menekankan pemisahan peran militer dari urusan sipil.
Oleh karena itu, diskursus mengenai pelibatan militer dalam fungsi pengamanan sipil perlu diposisikan secara proporsional dalam tiga kerangka penting, yakni: konstitusi, agenda reformasi sektor keamanan, dan profesionalisme institusi. Ketiganya merupakan fondasi yang tidak boleh dikompromikan dalam negara hukum yang demokratis.
Perspektif Konstitusi
Pelibatan TNI dalam urusan pengamanan di luar fungsi pertahanan negara harus tunduk pada prinsip supremasi hukum dan mekanisme keputusan politik negara. UUD NRI Tahun 1945, Pasal 30 ayat (3) menyatakan bahwa TNI bertugas sebagai alat negara di bidang pertahanan. Posisi ini sangat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena menggarisbawahi prinsip supremasi sipil, yaitu bahwa kekuasaan militer berada di bawah kendali otoritas sipil yang sah dan demokratis. Prinsip ini merupakan ciri utama negara demokrasi modern yang telah meninggalkan praktik militerisme dalam pemerintahan sipil.
Lebih lanjut, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, membagi tugas pokok TNI menjadi dua, yakni operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (OMSP). Bentuk OMSP mencakup antara lain: penanggulangan separatism bersenjata, terorisme, bantuan penanggulangan bencana, dan bantuan kepada instansi pemerintah dalam rangka tugas non-militer. Meskipun demikian, pasal tersebut tidak serta merta memberikan kewenangan kepada TNI untuk secara bebas menjalankan fungsi-fungsi sipil.
Justru Pasal 5 UU TNI menegaskan bahwa pelibatan TNI dalam tugas apa pun harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yakni melalui perintah Presiden dan, dalam kondisi tertentu, dengan persetujuan parlemen. Ini merupakan bentuk pengawasan institusional yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya overlap kekuasaan dan penyimpangan fungsi. Dengan kata lain, setiap pelibatan TNI di luar fungsi pertahanan haruslah memiliki dasar konstitusional dan legalitas yang kuat, tidak cukup hanya melalui nota kesepahaman administratif antar-lembaga.
Peran militer dalam OMSP bukanlah kebijakan institusional biasa yang dapat dibuat melalui nota kesepahaman antar lembaga, melainkan tindakan luar biasa yang hanya dibenarkan dalam kondisi tertentu dan melalui proses politik yang transparan. Tanpa landasan keputusan politik yang sah, pelibatan TNI dalam ranah sipil dikhawatirkan menabrak batas konstitusional yang menjamin keseimbangan kekuasaan. Lebih jauh lagi, hal ini dapat membuka ruang bagi pembiasan peran militer dalam kehidupan sipil, yang secara historis telah menjadi salah satu persoalan krusial dalam demokratisasi di Indonesia.
Dari sudut pandang norma hukum tata negara, pelibatan militer dalam pengamanan instansi sipil seharusnya diperlakukan sebagai kebijakan extraordinary yang memerlukan pertanggungjawaban politik di hadapan publik. Sebab, dalam prinsip negara hukum, setiap tindakan kekuasaan negara harus berdasarkan hukum (rule of law), bukan sekadar berdasarkan kehendak institusi atau pejabat tertentu. Hukum menjadi instrumen kontrol atas kekuasaan agar tidak melenceng dari tujuan pembentukan negara, yakni melindungi hak-hak rakyat dan menjaga supremasi konstitusi.
Perspektif Reformasi Sektor Keamanan Ketentuan tersebut bukan tanpa alasan. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa ketika garis batas antara kekuasaan sipil dan kekuatan militer menjadi kabur, maka yang muncul adalah dominasi militer dalam ruang-ruang sipil. Itulah sebabnya pascareformasi 1998 dengan tegas memisahkan fungsi TNI dan Polri. TNI difokuskan pada pertahanan negara dari ancaman militer, sedangkan Polri memegang fungsi keamanan dan ketertiban dalam Negeri.
Amanat ini bukan hanya simbolik, tetapi merupakan upaya membangun demokrasi sipil yang sehat, di mana otoritas militer berada di bawah kontrol sipil dan beroperasi secara profesional sesuai mandatnya. Selain itu, prinsip ini diadopsi untuk meneguhkan check and balances, dan secara praksis untuk mencegah tumpang tindih fungsi dan menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan militer di ruang sipil.
Menjaga batas yang jelas antara fungsi militer dan fungsi sipil bukan hanya persoalan administratif, melainkan upaya mempertahankan integritas reformasi dan memperkuat fondasi demokrasi. Perlu ditegaskan bahwa reformasi sektor keamanan bukan sekadar agenda masa lalu, melainkan mandat yang harus terus dijaga dan dievaluasi. Keberhasilan reformasi keamanan sangat ditentukan oleh komitmen semua pihak untuk menjaga batas-batas peran dan fungsi institusi sesuai prinsip demokrasi konstitusional.
Setiap upaya menghadirkan kembali militer dalam wilayah sipil tanpa pembatasan dan legitimasi hukum yang tegas berpotensi mengaburkan capaian reformasi sektor pertahanan yang telah dibangun dengan susah payah selama dua dekade terakhir.
Pengaburan peran militer dalam urusan sipil akan melemahkan peran strategis institusi, baik militer itu sendiri maupun lembaga sipil yang dibantu. Militer akan kembali terseret ke dalam arena nonpertahanan yang tidak sesuai dengan fungsinya, sementara institusi sipil akan kehilangan otoritas dan kapasitas kelembagaan karena bergantung pada kekuatan militer. Ini tentu akan menciptakan kondisi ketergantungan struktural yang membahayakan tata kelola demokratis dan memperlemah upaya membangun sistem keamanan yang berbasis supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Perspektif Profesionalisme Institusi
Kebijakan pelibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan juga menimbulkan persoalan serius mengenai batas dan etika kelembagaan. Di satu sisi, profesionalisme TNI menuntut agar prajurit fokus pada tugas pokok pertahanan negara, termasuk kesiapsiagaan menghadapi ancaman militer, menjaga kedaulatan wilayah, dan melaksanakan operasi militer, baik dalam maupun luar negeri sesuai mandat. Pelibatan TNI dalam tugas-tugas di luar itu tanpa parameter yang jelas justru berisiko mengaburkan orientasi kelembagaan, serta membebani sumber daya manusia TNI dengan fungsi yang bukan menjadi kompetensinya.
Di sisi lain, pelibatan TNI dalam fungsi pengamanan lembaga penegak hukum juga mengindikasikan lemahnya kapasitas internal institusi Kejaksaan dalam membangun sistem pengamanan yang profesional dan mandiri. Padahal dalam konteks negara hukum modern, setiap institusi sipil harus memiliki kemampuan membangun sistem keamanannya sendiri secara proporsional, baik melalui satuan pengamaman internal, sinergi dengan Kepolisian, maupun mekanisme perlindungan hukum lainnya. Pelibatan TNI dalam fungsi pengamanan internal Kejaksaan justru berisiko menciptakan tumpang tindih kewenangan, bahkan dapat menimbulkan kesan bahwa institusi penegak hukum memerlukan kekuatan ekstra di luar mekanisme hukum yang berlaku.
Upaya memperkuat profesionalisme TNI semestinya tidak dilakukan dengan memperluas ruang gerak militer ke sektor-sektor sipil, melainkan melalui konsolidasi fungsi pertahanan, peningkatan kapasitas personel untuk menghadapi ancaman militer konvensional maupun non-konvensional, serta reformasi internal kelembagaan yang mendukung transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum. Begitu pula sebaliknya, institusi sipil seperti Kejaksaan seyogianya membangun sistem keamanannya secara mandiri dan akuntabel dalam kerangka supremasi sipil dan rule of law.
Kejaksaan merupakan institusi penegakan hukum yang memiliki kedudukan strategis dalam sistem peradilan pidana. Dalam menjalankan fungsinya, independensi dan akuntabilitas menjadi unsur utama. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam membuka ruang masuknya unsur non-sipil ke dalam sistem kerjanya sangat diperlukan agar tidak menimbulkan persepsi yang membingungkan publik. Apalagi jika kehadiran tersebut didasarkan pada situasi ancaman nyata yang mengganggu keamanan fisik lembaga.
Profesionalisme lembaga negara tidak hanya diukur dari efektivitas pelaksanaan tugasnya, tetapi juga dari kemampuannya menjaga otonomi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum. Dalam konteks ini, langkah yang paling tepat adalah memperkuat sinergi antar-institusi dalam kerangka supremasii hukum, bukan dengan meleburkan batas kewenangan secara praktis. Kolaborasi antar-lembaga negara memang penting, namun mesti dijalankan dalam batas-batas yang tidak mengaburkan peran dan tanggung jawab kelembagaan. Apabila dinilai memerlukan peningkatan keamanan Kejaksaan, maka seharusnya difokuskan pada penguatan sinergi dengan Kepolisian atau pengamanan internal yang profesional.
Mendesak Untuk Dievaluasi
Dengan mencermati kebijakan pelibatan TNI tersebut dari ketiga perspektif, isunya bukan soal menolak sinergi, tetapi berupaya memastikan bahwa sinergi tersebut berjalan dalam koridor hukum, demokrasi, dan profesionalisme yang telah menjadi fondasi negara pascareformasi.
Pedebatan publik yang konstruktif adalah bagian dari penguatan tata kelola negara yang sehat. Sebagai bangsa yang telah menapaki jalan panjang reformasi, kita tidak ingin menciptakan ruang abu-abu dalam relasi antar-lembaga negara. Prinsip sipil mengatur sipil, militer mengatur pertahanan, bukan semata soal dikotomi, tetapi agar setiap lembaga bekerja secara optimal sesuai mandat dan kompetensinya.
Oleh sebab itu, penting kiranya dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan proporsional terhadap kebijakan ini, baik dari sisi legalitas, urgensi, maupun dampak institusionalnya. Dari sisi legalitas, harus jelas dasar hukum apa yang digunakan dan pakah sudah memenuhi ketentuan dalam UU TNI.
Dari sisi urgensi, apakah benar terdapat eskalasi ancaman yang membutuhkan pelibatan militer, dan bukan cukup ditangani oleh satuan keamanan sipil. Sedangkan dari sisi dampak institusional, penting memastikan bahwa kerja sama tersebut tidak melemahkan prinsip profesionalisme masing-masing institusi serta tidak mengikis batas antara fungsi pertahanan dan fungsi hukum sipil.
Panglima TNI bersama Jaksa Agung dan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Hukum, serta Kementerian Pertahanan dapat duduk bersama untuk meninjau kembali pelaksanaan kerja sama ini agar tidak menimbulkan kekeliruan persepsi dan tetap sejalan dengan semangat reformasi sektor keamanan. Peran DPR dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan fungsi pertahanan dan pelibatan TNI di luar fungsi utamanya juga menjadi sangat relevan. Keterlibatan publik melalui ruang-ruang diskusi terbuka dapat memperkaya perspektif dan menguatkan arah kebijakan yang lebih inklusif dan konstitusional.
Negara demokratis yang sehat adalah negara yang mampu menjaga kejelasan fungsi setiap lembaga, memperkuat kapasitas sipil, dan menegakkan prinsip check and balances secara konsisten. Sinergi antar-lembaga tetaplah penting, tetapi sinergi yang berakar pada hukum, tata kelola demokratis, dan penghormatan terhadap reformasi yang telah dicapai bersama. Dengan kata lain, menjaga sinergi antar antar-lembaga dalam kerangka demokrasi adalah tugas bersama. Namun sinergi tersebut harus tetap berpijak pada prinsip prefesionalisme, keterbukaan, dan penghormatan terhadap fungsi kelembagaan yang telah diatur dalam sistem ketatanegaraan.
Dengan tetap menjaga proporsionalitas dan batas-batas kewenangan, tidak hanya memperkuat koordinasi dan konsolidasi, tetapi juga menjaga marwah institusi dan kepercayaan publik terhadap proses hukum yang adil dan independen.
Penulis : Dr. Bachtiar
Pengajar HTN-HAN Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Editor : Redaksi
Social Footer