Bongkar News

Peradaban Toraja di Tanah Bungku yang Dibumihanguskan DI/TII : Jejak Sejarah Bokko Pento dan Ekspedisi 200 Jiwa





Bongkar merdeka.com |Morowali – 

Di pedalaman Sulawesi Tengah, tersembunyi kisah yang nyaris luput dari narasi besar bangsa. Di wilayah Kerajaan Bungku, jejak peradaban Toraja pernah tumbuh subur, dibawa oleh rombongan Bokko Pento—seorang tokoh adat Toraja yang memimpin eksodus lebih dari 200 jiwa pada tahun 1932.

Perjalanan ini bukan sekadar pelarian dari represi kolonial Belanda, tetapi juga sebuah upaya mempertahankan nilai, adat, dan iman. Mereka menempuh jalur berat: dari pegunungan Tanah Toraja, menyusuri Danau Towuti dan Matano, hingga tiba di wilayah timur Sulawesi.

Diterima Raja Bungku, Menyatu dalam Bingkai Islam

Setibanya di Kerajaan Bungku yang saat itu dipimpin Raja PEA PUA Abdul Razak (1931–1937), rombongan Bokko Pento disambut dengan tiga syarat: tunduk pada hukum adat Bungku, menjaga keamanan wilayah, dan memeluk agama Islam. Semua syarat itu diterima tanpa paksaan dan pertumpahan darah.

Mereka kemudian menetap di kampung-kampung seperti Sampala, Tete Nona, Koroni, Batu Pali, To Kamiri, dan To Kaluku—yang kini termasuk wilayah Bahodopi, Lele, dan Dampala. Identitas Toraja tetap hidup dalam nafas baru sebagai bagian dari komunitas Muslim lokal. Hingga kini, sisa-sisa peradaban tersebut masih terlihat melalui batu nisan tua, ladang berundak, serta masjid dan dokumen warisan.

Sebagai bentuk pengakuan, Raja Bungku menganugerahkan sebidang tanah kepada mereka dengan batas alam yang jelas :

* Utara: Sungai Sampala

* Timur: Sungai Lantula

* Selatan: Sungai Mapute


Letaknya strategis—berada di perbatasan tiga kerajaan besar: Bungku (Sulawesi Tengah), Tolaki (Sulawesi Tenggara), dan Luwu (Sulawesi Selatan). Mereka bukan hanya pendatang, tetapi juga penjaga batas kerajaan.

*DI/TII Membakar Segalanya*

Namun, masa damai itu berakhir tragis pada 1965. Gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) masuk ke wilayah Morowali, memanfaatkan kondisi geografis dan ketiadaan aparat. Permukiman peninggalan Bokko Pento menjadi sasaran.

Kampung-kampung dibakar, masjid dihancurkan, ladang dirampas. Ratusan keluarga tercerai-berai. Sebagian besar menyelamatkan diri ke pesisir Bungku, Kolaka, Luwu, dan Poso.

“DI/TII membakar segalanya,” kenang salah satu pewaris Bokko Pento, menggambarkan kehancuran yang mereka saksikan.

*Warisan yang Diperjuangkan*

Kini, keturunan Bokko Pento menyebar di berbagai penjuru, namun tetap membawa semangat leluhur. Di antara mereka, nama-nama seperti Saharu (Ambe' Komang) dan Lappang (Indo Agu) dikenal sebagai penjaga memori sejarah.

Mereka memiliki dokumen warisan yang sah, antara lain:

* Surat Raja Bungku dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda

* Dokumen kampung Sampala

* Surat pengakuan dari keturunan Raja Abdul Razak dan PEA PUA Abdul Rabbie

* Keterangan saksi dan kuasa ahli waris

* Peta batas wilayah antarprovinsi


Pengakuan terhadap hak ulayat mereka juga didukung landasan hukum nasional, seperti:

* UUPA No. 5 Tahun 1960 Pasal 3

* Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019

* UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 6 tentang hak masyarakat adat


“Kami tidak pernah menjual tanah ini. Ini warisan. Kami ingin membaginya secara adil untuk semua pihak, termasuk negara dan perusahaan, asal tetap menjaga adat dan musyawarah,” ujar salah satu pewaris Bokko Pento, Senin (26/5/2025).

*Tanah Bukan Sekadar Sumber Daya*

Bagi mereka, tanah bukan semata sumber daya ekonomi, melainkan tapak sejarah dan identitas. Mereka tak menuntut keistimewaan—hanya keadilan. Agar tanah itu tak dihapus dari peta oleh keserakahan modernitas.

“Kami bukan pengklaim tanah. Kami hanya ingin menghormati leluhur dan membagi manfaatnya secara adil,” tegas salah satu pewaris lainnya.

*Peradaban yang Menanti Diakui*

Morowali hari ini dikenal sebagai daerah tambang, tetapi sejatinya adalah museum hidup dari peradaban yang nyaris terlupakan. Kisah Bokko Pento adalah pengingat bahwa sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh raja dan perang, tetapi juga oleh para perantau yang menyeberangi gunung, danau, dan batas-batas kekuasaan demi kedamaian dan kelestarian adat.

Kini, keturunan Bokko Pento menyerukan agar negara tak melupakan sejarah yang mereka rawat. Mereka percaya bahwa dengan pengakuan dan perlindungan, peradaban yang dibakar dapat dikenang kembali—bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai bagian dari jati diri bangsa. 


Penulis : Red/Fad
Editor    : Redaksi



Type and hit Enter to search

Close