Bongkar News

Disiplin Ala Militer untuk Anak Nakal: Solusi atau Pelanggaran Hak?




.
Bongkar merdeka.com |Jakarta, 

Di lantai 3 Tower 3 Pasar Rumput, Jakarta Selatan, sebuah diskusi publik berlangsung dengan tema yang tak biasa, namun menyentuh hati banyak orang: “Disiplin Ala Militer untuk Anak Nakal: Solusi atau Pelanggaran Hak?”.

Pertanyaan ini tak hanya menyentuh dunia pendidikan dan hukum, tetapi juga menembus ruang batin para orang tua yang sedang berjuang memahami anaknya sendiri.

Diskusi ini dimoderatori oleh Aushiong Munthe, dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang:

Pdt. Dr. Jeffri Lilobomba, MA., M.Th. – akademisi/Dosen STT IKAT

Lovely Bintaro – founder Akademi Suluh Keluarga,

Pdt. Harsanto Adi S., M.M., M.Th. – Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API),

Oloan M. Manik, S.H., M.H., CLA. – penasehat hukum Pewarna Indonesia,

August Hamonangan, S.H., M.H. – anggota DPRD DKI Jakarta, Fraksi PSI.

“Anak Nakal” atau “Anak Terluka”?

Pdt. Jeffri Lilobomba membuka pembicaraan dengan mengajak hadirin merenungkan kembali makna kenakalan. “Jangan buru-buru menyebut anak itu nakal. Kadang mereka hanya terluka, bingung, dan tidak tahu cara bicara selain lewat perilaku. Apa kita tega membalas kebingungan itu dengan hukuman seperti di militer?” tuturnya. Tgl (5/6/2025).

Ia menekankan bahwa disiplin bukan berarti kekerasan. Ada cara lain yang lebih membangun: dialog, bimbingan, dan teladan.

Lovely: “Orang Tua Harus Hadir, Bukan Sekadar Menghukum”

Lovely Bintaro menyampaikan pengalaman nyata dari komunitas keluarga yang ia dampingi. “Banyak orang tua ingin menyerahkan anak mereka ke tempat pelatihan keras karena merasa sudah tak sanggup. Tapi pertanyaannya: apakah kita pernah benar-benar hadir, mendengarkan, merangkul anak itu?” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Ia menambahkan, keluarga bukan tempat penghakiman, tetapi ruang aman bagi anak mengenal dirinya dan dunia. Disiplin tanpa cinta akan menciptakan generasi penuh dendam.

Pendeta Harsono: “Gereja Harus Merangkul, Bukan Menghakimi”

Dari sisi rohani, Pdt. Harsono Adi S. menegaskan bahwa gereja tidak boleh diam. “Yesus tidak pernah menyerahkan anak-anak pada barak militer. Ia duduk bersama mereka, memberkati mereka. Tugas kita bukan menghakimi, tapi mendampingi,” ujarnya.

Ia mengajak gereja membuka ruang pembinaan karakter, konseling keluarga, dan program dukungan untuk anak-anak yang terpinggirkan.

Oloan: “Disiplin Harus Legal dan Bermartabat”

Oloan Manik, dari sisi hukum, menyampaikan keprihatinannya atas banyaknya tempat pembinaan berbasis disiplin militer yang beroperasi tanpa legalitas jelas. “Kita harus tegas: jika pembinaan mengandung kekerasan, maka itu pelanggaran hukum. Anak-anak punya hak dilindungi, bukan dipecundangi,” katanya.

Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dan negara untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang adil dan beradab.

August: “Jakarta Punya Cara yang Lebih Manusiawi”

Sebagai legislator daerah, August Hamonangan menolak pendekatan militer untuk anak-anak di Jakarta. “Kita bukan kekurangan ruang. Jakarta punya taman, rusun ramah anak, DPT-APP yang aktif, dan sistem pengaduan. Kita hanya perlu lebih peduli,” ujarnya.

Ia bahkan menyebut Kelurahan Cikoko di Jakarta Selatan yang sudah ditetapkan sebagai kelurahan ramah anak. “Kalau benar Jakarta adalah kota ramah anak, mengapa anak-anak masih dibawa ke tempat pelatihan keras? Bukankah itu kemunduran?” ucapnya penuh tanya.

August menegaskan bahwa kenakalan remaja bukanlah alasan untuk menyerah. “Mereka butuh kasih, bukan hanya perintah baris-berbaris. Mereka butuh didengarkan, bukan dibentak.”

Refleksi: “Apakah Kita Sudah Mencintai Sebelum Menghukum?”

Diskusi ini bukan hanya soal disiplin, tetapi tentang kasih, nilai, dan martabat manusia. Ia menyentuh sisi terdalam kita sebagai orang tua, pendidik, warga negara, dan orang beriman.

“Disiplin ala militer untuk anak nakal” mungkin terlihat tegas di permukaan, tetapi di baliknya bisa tersembunyi luka yang tak terlihat. Dan luka di masa kecil, jika tak diobati dengan cinta, bisa menjadi kemarahan yang panjang di masa depan.

Seorang ayah yang hadir berbisik lirih seusai diskusi, “Saya datang ingin mengirim anak saya ke tempat pelatihan. Tapi sekarang, saya hanya ingin pulang… dan mulai berbicara dengannya.”

Mungkin itu awal dari pemulihan. Bukan di barak, tapi di ruang makan, di pelukan, dan di maaf yang tulus.

Penulis : vid
Editor   : Redaksi

Type and hit Enter to search

Close