Foto :Dr Liona Nanang Supriatna. Pakar Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Katolik Parahyangan
Bongkar merdeka.com |Bandung -
Peristiwa penolakan pembangunan Gereja di Cilodong, Depok, pembubaran retreat pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, persekusi atau tindakan intoleransi, diskriminasi, intimidasi, dan penolakan praktik ibadah terhadap umat Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia di Gedung Serba Guna (GSG) Sukamiskin, Arcamanik, Kota Bandung menambah deretan tindakan intoleransi khususnya di Jawa Barat dan umumnya di Indonesia.
“Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka (FKAB) menggelar aksi penolakan umat Katolik Santa Odilia beribadah. Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka memprotes alih fungsi gedung fasilitas umum sebagai rumah ibadah. Penolakan terhadap kegiatan Misa di Arcamanik mencerminkan sikap intoleransi yang bertentangan dengan prinsip keberagaman dan kebebasan beragama serta bertentangan dengan prinsip hidup Berbhineka,” ujar Pakar Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Katolik Parahyangan Dr Liona Nanang Supriatna dalam keterangannya Rabu, 9 Juli 2025.
Kegiatan di Sukabumi yang seharusnya menjadi momen pembinaan iman, tandas Liona, dibubarkan paksa oleh sekelompok warga yang menuding acara tidak memiliki izin dan menggunakan rumah pribadi sebagai tempat ibadah. Retreat adalah kegiatan berupa latihan spiritual untuk orang beriman; Untuk membina relasi dengan Tuhan di tengah pergumulan yang berat; Untuk meningkatkan kepekaan sosial terhadap sesama sebagai pernyataan kedewasaan iman. Retreat menjadi sebuah kegiatan di mana anggota organisasi berkumpul di luar lingkungan kerja atau aktivitas rutin untuk melakukan evaluasi, refleksi, perencanaan, serta mempererat hubungan antar anggota.
Menurutnya, penolakan serta penundaan pembangunan Gereja di Cilodong yang telah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) yang sah dan legal, menunjukkan betapa berkuasanya sekelompok massa untuk menentukan perizinan pembangunan rumah ibadah bagi warga negara.
Ironinya, lanjut dia, Pemerintah Kota Cilegon melalui Walikota dan Wakil Walikota Cilegon tunduk pada tekanan massa, tentu saja Pemerintah Kota Cilegon tidak melaksanakan dan mengabaikan kewajibannya untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) dan sekaligus merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)
Persekusi terhadap umat beragama di atas, kata Liona, tentu saja menodai semangat keragaman agama dan keyakinan yang merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia, di sinilah kita harus terus mendorong moderasi beragama yang merupakan modal dasar untuk keutuhan dan peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Semua komponen bangsa seharusnya melaksanakan jiwa dan semangat Peraturan Presiden RI No. 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.
Perbuatan intoleransi di atas, masih kata Liona, tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati diri dan identitas Kesundaan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai secara turun-temurun. “Yaitu silih asah (saling memperbaiki), silih asih (saling mengasihi), silih asuh (saling menjaga), kemudian bertentangan dengan filosofi Urang Sunda yang memegang teguh prinsip Akur jeung batur sakasur, jeung batur sadapur, jeung batur sasumur, jeung batur salembur, jeung batur sagalur (Hidup rukun dengan pasangan, dengan keluarga, dengan tetangga, dengan saudara sekampung, dan dengan saudara sebangsa)," tegas Tokoh Sunda Katolik ini.
Lebih jauh diungkapkan Liona, pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya adalah merupakan fondasi yang kuat untuk saling menghargai setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ibadahnya.
“Hal ini diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak Asasi Manusia, Pasal 22 Ayat 1 dan 2 yang menegaskan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu,” ujar Alumnus Justus Liebig University Jerman ini.
Hak-hak di atas, sambung Liona, adalah merupakan hak asasi yang tidak bisa dikesampingkan, dikurangi dan atau ditunda dengan alasan apapun dan oleh siapapun sekalipun dalam keadaan perang (non-derogable rights), seperti yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia (vide Pasal 4 (2).
Menurut Presiden The Best Lawyers Club Indonesia, yang juga merupakan Penasihat Pemuda Katolik (PK) ini, kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diatur dalam Pasal 18 ICCPR dibagi menjadi: pertama, Forum Eksternum, hal ini berkaitan erat dengan bagaimana umat menjalankan keyakinan, bagaimana mempraktikan dan mengamalkan setiap keyakinan agama atau kepercayaannya. Eksternum, karena sifatnya sebagai manifestasi (eksternal) dari nilai-nilai internal keagamaan, misalnya beribadat di Masjid, Gereja, Klenteng, Pura hal ini perlu Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), ijin dari negara untuk melindungi hak-hak yang dijamin oleh kovenan, termasuk hak atas kesetaraan dan non diskriminasi dibidang apapun.
Kedua. Forum Internum, merupakan HAM yang tidak bisa dihilangkan (inalienable right) yang dijamin oleh negara atas penghormatan terhadap martabat (dignity) manusia yang mandiri, Forum internum adalah hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak boleh dibatasi, tanpa pengecualian, semisal sembahyang di Musholla, di Kapel, di Rumah Pribadi, hal ini tidak memerlukan perijinan.
“Negara memiliki kewajiban positif untuk menciptakan kondisi yang mendukung hak setiap orang untuk menikmati hak dan kebebasan secara utuh,” ujar Anggota Dewan Kehormatan Peradi ini.
Liona menilai, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat, bahkan PBM ini merupakan pangkal dari intoleransi dan ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama, PBM ini seringkali digunakan untuk menghambat kelompok minoritas untuk membangun tempat ibadah. Rencana pemerintah untuk menaikkan status regeling tersebut dari PBM menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tidaklah cukup. Perlu adanya Undang Undang sebagai payung hukum yang mengatur tentang Persetujuan Bangunan Gedung tempat ibadah, yang tidak bersifat restriktif terhadap minoritas seperti PBM 2 menteri di atas.
Saat ini, pemerintah telah menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui UU 6/2023), dalam Perppu mengatur tentang Perubahan Perizinan Penyederhanaan persyaratan perizinan, meliputi Persetujan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
“Perubahan pengaturan PBG/IMB dan peraturan pelaksananya tidak mengubah ketentuan khusus mengenai pendirian rumah ibadah yang terdapat dalam Pasal 14 PBM Pendirian Rumah Ibadat, dengan demikian Pasal 14 PBM bertentangan dengan tujuan dari perubahan pada Undang Undang PBG yang menyederhanakan perizinan bagunan gedung untuk tempat ibadah,” pungkas Alumni Lemhannas RI PPRA Angkatan 58 tersebut.
Penulis : vid
Editor : Redaksi
Social Footer